di ambil dari detik Sabtu, 29/05/2010 |
Namun perkembangan sejak enam tahu lalu tampaknya tidak menunjukkan adanya penanganan yang tepat. Justru sebaliknya, sampai kini, bukan saja bencana itu telah merusak lingkungan dan prasarana transportasi dan ekonomi di Jatim, tetapi yang paling menyedihkan adalah penanganan bencana kemasyarakatan dan kemanusiaan yang belum tuntas. Malahan, berbagai berita mengenai kondisi para korban bencana Lapindo tersebut makin hari makin menunjukkan kecenderungan impunitas dari para penanggungjawab, di samping penderitaan manusia yang mengenaskan. Hari ini ada berita di koran bahwa beberapa korban bencana Lapindo terpaksa menjadi PSK karena kesulitan dalam kehidupan mereka setelah peristiwa tersebut. Jika berita ini benar adanya, eskalasi dari korban lumpur Lapindo telah semakin meluas, yaitu sampai kepada korban harga diri manusia (human dignity), bukan hanya soal harta benda dan ekonomi belaka. Nah, menurut hemat saya, semestinya negara sejak awak harus bertindak dan memaksa PT. Lapindo bertanggungjawab terhadap masalah relokasi tersebut. Sayangnya justru di sinilah persoalan kemudian menjadi berbelit-belit ketika aparatur negara baik pusat maupun daerah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, hanya berfikir dan bekerja secara sektoral dan menggunakan sudut pandang sempit masing-masing sebagai acuan. Ujung-ujungnya, PT Lapindo yang memiliki dukungan politik sangat kuat dapat mempengaruhi kebijaksanaan publik secara sistematis dan menyiasati opini masyarakat secara massif melalui media massa yang dapat dibeli untuk iklan dan pengerahan pendapat para pakar dan pembuat opini.
Begitu pula, PT Lapindo telah mampu memegang para tokoh kunci serta ormas besar yang memiliki pengaruh di jatim melalui kooptasi. Sebagai contoh, ketika Pemilukada Gubernur Jatim berlangsung pada 2008, tak seorangpun calon yang bertarung yang memiliki agenda cukup serius untuk melakukan upaya politik dan hukum thd PT Lapindo sebagai platform politiknya. Sulit untuk menghilangkan kesan bahwa calon-calon yang berkompetisi pada saat itu sudah mendapatkan sesuatu sebagai imbalan untuk tidak mengutik-utik masalah yang satu ini sebagai bahan kampanye. Konsekuensinya, amanat penderitaan korban banjir Lapindo makin terlupakan karena semua yang memiliki kekuasaan telah terbungkam atau terhegemoni oleh kekuatan uang. Bahkan DPR yang mula-mula seolah punya keinginan untuk membuat semacam Tim ad hoc untuk masalah ini ternyata hanya tinggal bunyi janji kosong melompong. Toh rakyat Jatim yang ada di sekitar daerah bencana tersebut tetap saja memilih mereka kembali untuk duduk di DPR. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi apa yang disebut sebagai "banalitas" kasus Lapindo, sehingga kendati semua orang tahu bahwa para korban tetap belum disantuni dengan baik, tetapi tak ada keinginan untuk menggugat.
Bagi saya, kasus Lapindo adalah petunjuk paling jelas telah terjadinya proses pembusukan dalam politik di Indonesia paska reformasi. Pembiaran atau impunitas yang dilakukan aparat negara terhadap rakyatnya dan kemudian di "setujui" baik oleh seluruh komponen elite politik itu, sungguh merupakan sebuah kejahatan kemanusiaan yang mengerikan. Yang lebih mengerikan bagi saya, pada tataran masyarakat sendiri, tidak ada pula suatu greget atau rasa bahwa telah terjadi sebuah ketidak adilan terhadap sebagian dari saudara-saudara mereka. Mayoritas rakyat di jatim dan bahkan di daerah bencana tetap menganggap para politisi atau parpol yang bersekutu melakukan pembiaran layak dipilih sebagi wakil mereka di eksekutif dan legislatif. Quo vadis, kasus Lapindo?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar