Sabtu, 19 Juni 2010

Front Oposisi Rakyat Indonesia, dan Jalan Panjang Menuju Persatuan

Agar Tidak Seperti Sisyphus

LIPUTAN KHUSUS
Jalan Panjang Menuju Persatuan
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)

sumber : Indo PROGRESS

KAMIS, 28 Januari 2010. Langit Jakarta, terang benderang. Matahari memancarkan sinarnya yang berkilau emas. Hidup menjadi bergairah, semua ingin bergerak, maju setapak dua tapak.

Di jalanan ibukota, ribuan massa turun ke jalan-jalan. Di salah satu ruas jalan menuju istana merdeka, ribuan massa dengan berbaris tertib berarakan menuju gerbang istana. Sepanjang jalan mereka bernyanyi, menari, dan mendengarkan pidato-pidato. Bendera-bendera merah besar berkibar-kibar gagah ditiup angin panas siang itu. Sementara di barisan depan, tampak perempuan muda dengan wajah cerah penuh semangat dan berenergi, berjalan sambil berangkulan tangan. Di spanduk besar yang terbentang tertera tulisan “Front Oposisi Rakyat Indonesia” disingkat FOR Indonesia.

“Rakyat Menentukan!” “Ganti rejim ganti sistem!” demikian teriakan yang terdengar melalui pengeras suara. Setelah itu, berkumandanglah lagu penuh semangat dan menggetarkan jiwa:

Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gengap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari – hari esok adalah milik kita
Terbebasnya Masa rakyat pekerja
Terciptanya tatanan Masa rakyat
SOSIALIS sepenuhnya
Marilah kawan mari kita tanamkan
Di tangan kita tergenggam arah bangsa
Marilah kawan mari kita nyanyikan
Sebuah lagu tentang pembebasan


BARISAN FOR Indonesia, hari itu turun ke jalan bertetapan dengan genapnya 100 hari pemerintahan SBY-Boediono atau 5 Tahun + 100 hari berkuasanya presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

100 hari dipilih kedua sejoli SBY-Boediono, sebagai patok untuk mengevaluasi kinerja pemerintahannya. Tradisi ini meniru sebuah tradisi yang dicetak presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt, berpuluh tahun silam. Ketika itu, untuk mengakomodasi gelombang besar pemogokan dan demonstrasi buruh dan sektor rakyat lainnya dalam masa Depresi Ekonomi 1930an, Roosevelt berjanji untuk segera memulihkan kondisi ekonomi dalam waktu 100 hari. Dengan demikian 100 hari adalah sebuah tindakan darurat, di dalam situasi yang juga darurat. Dengan kata lain, 100 hari bukanlah sebuah jargon tapi sebuah aksi nyata dengan capaian yang terukur.

SBY-Boediono tampaknya ingin pula mengumumkan suksesnya di 100 hari pertama kekuasaannya. Namun, jauh panggang dari api. Bukan tepuk tangan membahana yang diterima, tapi gelombang besar demonstrasi massa. Ini tak terlalu aneh. Sejak hari pertama berkuasa, pemerintahan SBY-Boediono justru dirundung setumpuk masalah. Paling menonjol adalah kasus penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selanjutnya disusul kasus lebih besar lagi: Century Gate. Pada selang dua kasus itu, terjadi demonstrasi massa besar-besaran, yang diklaim sebagai terbesar sejak reformasi 1998. Dua anggota terkemuka kabinet Indonesia Bersatu II, Boediono dan Sri Mulyani Indrawati, dituduh melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk menalangi krisis yang mendera Bank Century.

Alih-alih ingin berbagi cerita sukses, SBY-Boediono justru sibuk menangkis tuduhan, cercaan, dan silat politik para politisi di parlemen. 100 hari pertama adalah 100 hari yang gagal. Jika dibandingkan dengan tradisi 100 harinya Roosevelt, maka SBY-Boediono baru mengambil jargon dan bentuknya tapi kosong isi dan tindakan konkret.

Dalam maklumat yang dikeluarkannya pada 21 Januari 2008, FOR Indonesia mengatakan “Selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY berkuasa telah nyata berhasil menjadi jongos Rezim Neoliberal –yang menindas rakyat Indonesia dengan sistem “Tiga Bebas”, yakni bebas investasi, keuangan dan perdagangan yang dipersembahkan kepada kaum modal besar yang beroperasi di seluruh sektor ekonomi di Indonesia.”

Pada tiga bebas pertama, yakni bebas Investasi, FOR Indonesia menyatakan, selama kekuasaannya rejim SBY telah mensahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) yang memberikan fasilitas, insentif dan kemudahan yang sangat luas kepada penanam modal. Fasilitas yang diberikan jauh lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Padahal UU PMA 1967 tersebut telah menjadi pintu gerbang eksploitasi kekayaan alam tambang, perkebunan dan hasil hutan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Selain itu UU PM yang kemudian diikuti dengan Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2007 telah menyerahkan seluruh sumber daya ekonomi Indonesia untuk dikuasai secara mayoritas oleh modal asing. Di sektor energi dan sumber daya mineral 95 persen dapat dikuasai modal asing, sektor keuangan 85 persen dapat dikuasai modal asing, Bank Indonesia 99 persen boleh dikuasasi modal asing dan bahkan sektor pertanian 95 persen boleh dikuasai modal asing.

Bebas kedua adalah di bidang Keuangan, dimana rejim SBY telah merevisi Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dengan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004, Revisi ini menjadikan Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga independen dari kontrol negara menjadi mengabdi pada kepentingan modal besar. Melalui revisi itu pula, fungsi utama BI adalah menjaga nilai tukar uang rupiah, yang menjadikan bank sentral sebagai spekulan pasar uang.

Bebas ketiga adalah bebas di bidang Perdagangan. Pada sektor ini, rezim SBY telah melakukan perjanjian perdagangan bebas Free Trade Agreement (FTA) dengan hampir semua negara maju: Jepang, China, Korea dan Australia serta AS, Uni Eropa (potensial). Perjanjian perdagangan bebas tersebut meliputi hampir seluruh bidang yang berkaitan dengan investasi dan perdagangan. Hal yang disepakati dalam FTA jauh lebih menyeluruh dibandingkan dengan WTO karena menyangkut seluruh aspek liberalisasi perdagangan barang dan jasa. Bagi FOR Indonesia, keberadaan FTA hanya semakin meningkatkan impor berbagai produk industri dan pertanian pada tingkat tarif bea masuk yang sangat rendah bahkan dapat mencapai nol persen. Saat ini saja Indonesia telah mengimpor hampir seluruh produk pertanian, beras, kedelai, produk peternakan seperti 30 persen kebutuhan daging nasional, sebanyak 70 persen dari total konsumsi susu, bahkan jeroan. Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian dan industri dalam negeri terpuruk.

Di pihak lain, demi alasan efisiensi ekonomi dan desakan lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, World Bank, dan Asian Development Bank, pemerintah telah mencabut berbagai jenis subsidi. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi telah masuk ke dalam pasar bebas dan harganya dijual pada tingkat harga pasar. Perusahaan-persuahaan publik seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi, juga telah berganti kelamin menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan.

“Akibat “Tiga Bebas” (Investasi, keuangan negara dan perdagangan), kondisi rakyat saat ini menderita kemiskinan yang parah. Meski menjadi kelas sosial yang paling banyak menyumbang bangunan ekonomi, politik, sosial di Indonesia; buruh, tani dan nelayan merupakan kelas terdepan yang kehidupannya telah dihancurkan program neoliberal Rezim SBY,” demikian bunyi Maklumat selanjutnya.


FOR Indonesia, adalah sebuah organisasi aliansi baru yang terdiri atas 46 organisasi, baik yang berbentuk organisasi massa (ormas) maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Menurut Vivi Widyawati aktivis Komite Politik Rakyat Miskin – Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD) dan Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), ide pendirian FOR Indonesia digagas untuk pertama kalinya oleh Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) pada awal Januari 2010, bertempat di kantor yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia (YLBHI).

Berbekal informasi tersebut, saya menghubungi Anwar Ma’ruf, ketua nasional Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) melalui fasilitas surat elektronik. Kepada saya, Ma’ruf yang akrab dipanggil Sastro ini, menjelaskan makna penting di balik pembentukan FOR Indonesia.

Menurut Ma’ruf, berdasarkan pada analisa terhadap perkembangan ekonomi-politik saat ini, dicapai kesimpulan bahwa kini rakyat Indonesia berhadapan dengan musuh bersama yakni rejim kapitalisme-neoliberal. Musuh bersama ini, bukan lagi sebuah hantu tak berbayang. Keberadaannya yang merusak dan menindas, telah nyata dirasakan rakyat miskin dalam beragam cara dan bentuk. Ibu rumah tangga menghadapinya dalam wujud harga barang kebutuhan pokok yang terus beranjak naik serta biaya sekolah dan kesehatan yang kian mencekik tenggorokan. Para petani mengalaminya melalui tanah mereka yang terus diserobot, harga pupuk yang naik-turun seperti alat main yo-yo, tapi harga beras dan produk pertanian lainnya tetap stagnan bahkan cenderung turun. Bagi para buruh upahan, rejim kapitalisme-neoliberal tampak dalam wujud tidak adanya kepastian kerja, upah yang hanya bisa makan hari ini untuk bekerja pada esok hari, ancaman PHK yang bagai pedang Damocles, serta hubungan kerja kontrak tanpa jaminan sosial-ekonomi.

Rejim kapitalisme-neoliberal juga muncul dalam wujud pembiaran terhadap kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama dan etnis. Kelompok-kelompok sipil bertendensi fasistik ini dibiarkan beroperasi untuk menghantam kelompok sipil minoritas yang memperjuangkan hak-hak demokratisnya. Bagi rejim kapitalisme-neoliberal, kelompok-kelompok bertendensi fasis ini menjadi centeng mereka untuk menakut-nakuti dan memblokade perlawanan rakyat yang muncul akibat kebijakan neoliberal yang dijalankannya. Melalui pembiaran ini, rejim memperoleh legitimasi untuk menjadi penengah dari konflik horisontal yang akarnya sebenarnya bersifat struktural. Sebuah laku muslihat yang licik.

Namun demikian, rakyat tak lagi takut berlawan. Aksi-aksi perlawanan rakyat muncul silih berganti. Dari buruh, petani, kaum miskin kota, mahasiswa hingga pegawai negeri korban PHK. Perlawanan itu kadang terbuka kadang tertutup, dalam bentuk demonstrasi atau sekadar tak mau lagi peduli. Secara geografis penyebaran aksi-aksi berlawan itu terjadi baik secara lokal maupun nasional, terorganisir maupun spontan, mengusung satu isu tertentu atau melalui gabungan isu bersama, bergerak sendirian ataupun bersama ormas dan LSM.

Sayangnya, kemarahan dan perlawanan itu masih berlangsung spontan dan sporadis. Akibanya, tinju yang dilayangkan kepada rejim hanya dirasakan sebagai cubitan, bukan sebuah pukulan telak yang menjatuhkan. Hingga sejauh itu perlawanan yang dilakukan belum mampu menggoyang struktur dan hegemoni kekuasaan rejim kapitalisme-neoliberal ini. Bahkan, seperti tampak dalam pemilihan umum 2009 lalu, rakyat tetap memberikan suaranya kepada partai-partai politik pendukung rejim kapitalisme-neoliberal.

Mengapa demikian? Apa yang kurang, dimana letak kelemahannya? Apa karena rejim terlalu kuat? Karena organisasi-organisasi perlawanan itu masih terserak-serak, bergerak berdasarkan isu dan programnya masing-masing? Atau, mungkin karena struktur masyarakatnya yang telah begitu terfragmentasi, terdiferensiasi, terkotak-kotak, dan terbelah-belah dalam isu ekonomi, politik, etnis, ras, agama, juga kelas? Sehingga, semakin persatuan dicari, semakin perpecahan yang ditemui?


TELAH muncul kesepakatan bahwa kekuasaan rejim kapitalisme-neoliberal ini tak tergoyahkan, bukan karena ia sangat kuat tetapi karena kalangan pergerakan begitu lemah baik secara politik maupun organisasional. Bara api perlawanan sebenarnya ada di mana-mana, dan setiap saat bisa meletikkan api yang siap membakar rumput kering di sekitarnya. Demikian juga, rejim kapitalisme-neoliberal ini tidak bebas dari konflik di kalangan mereka dalam rangka menghindarkan rejim dari kejatuhannya. Namun, karena kaum pergerakan terlalu lemah, maka perlawanan yang muncul dengan mudah dipadamkan, baik dengan cara-cara kekerasan atau lewat persuasi politik maupun psikologi massa. Karena itu, kebutuhan akan pentingnya persatuan gerakan sangat penting dan mendesak. Singkatnya, inilah basis material kebutuhan akan front: musuh yang relatif kuat, aksi-aksi perlawanan rakyat yang terus berlangsung, sementara organisasi perlawanannya masih lemah.

Terlalu naïf jika percaya bahwa rejim kapitalisme-neoliberal ini bisa dilawan secara individual atau kelompok individual. Sejarah bercerita bahwa perlawanan yang terserak-serak itu, justru banyak berakhir pada kegagalan dan menimbulkan trauma politik berkepanjangan. Bukan cuma pada mereka yang sadar dan tangguh secara ideologi, politik, dan organisasi, tapi lebih-lebih pada massa pendukung. Butuh waktu yang tidak pendek untuk kembali bangkit berlawan, meraih kepercayaan massa, mengorganisasikan perlawanan tersebut, lalu menggerakkannya untuk mencapai kemenangan.

Karenanya energi perlawanan yang terserak-serak itu, butuh saluran yang efektif dan menggerakkan. Agar bisa efektif, perlu dikonsolidasikan. Agar bisa menggerakkan, perlu organisasi. Agar organisasi ini tidak terjebak dalam isu-isu fragmentatif dan partikular yang sempit, perlu front persatuan. Agar front persatuan itu tidak layu sebelum berkembang, ia harus dirancang untuk kebutuhan jangka panjang, demokratis, membuka diri terhadap perdebatan ideologi, politik, dan organisasi, memanggul platform perjuangan bersama, memiliki strategi-taktik yang jitu, serta program-program kerja yang terukur pencapaiannya.

Dengan demikian, front persatuan adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang tak bisa lagi ditunda-tunda. Dengan kata lain, kebutuhan akan persatuan seharusnya menjadi prioritas utama dan terutama bagi seluruh gerakan kerakyatan di Indonesia saat ini. Menurut Erwin Usman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), krisis global seperti perubahan iklim dan dampaknya, hancurnya sumber-sumber kehidupan rakyat (tanah, air, hutan, pesisir, laut, dll) serta kemiskinan yang akut di tingkat rakyat tak bisa dijawab dengan tindakan parsialitas. “Mesti ada kerja Front,” ujarnya.

“Kami memutuskan bergabung dan selanjutnya mendukung dan memperkuat kerja-kerja FOR Indonesia, karena adanya kesamaan dalam melihat politik persatuan gerakan Indonesia,” ujar Vivi.

Hal senada dikemukakan Khalisah Khalid dari Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Menurutknya, SHI menganggap pembangunan kerja front yang bersifat permanen atau jangka panjang momentumnya telah matang. “Di satu sisi konsolidasi kekuasaan yang berwatak anti rakyat dan pro-neoliberalisme semakin menguat, di sisi lain absennya oposisi di negeri ini,” katanya.

Point tentang absennya oposisi yang dikemukakan Khalisah, diamini oleh Ma’ruf. Jika kekosongan itu tidak diisi oleh gerakan progresif, maka yang terjadi adalah antrean panjang para elite borjuasi yang berkonflik satu sama lainnya untuk saling bertukar tempat dalam posisi kekuasaan. Dengan demikian, walaupun fraksi elite borjuasi yang berkonflik itu selalu mengumbar jargon-jargon kepentingan publik, atas nama kesejahteraan rakyat, sejatinya konflik tersebut tidak ada kaitannya dengan penghapusan kebijakan neoliberal atau bahkan pergantian kekuasaan rejim kapitalisme-neoliberal.

“Dari berbagai alasan tersebut, kemudian kami berkesimpulan bahwa kekosongan kepemimpinan politik dan kehadiranya dalam berhadapan dengan kekuatan politik borjuasi dari gerakan sosial, menjadi wajib untuk dihadirkan dalam waktu dekat ini,” pungkas Ma’ruf.


LANTAS apa yang membedakan FOR Indonesia dengan front-front persatuan yang selama ini telah diuji-cobakan? Baik Anwar Ma’ruf maupun Erwin Usman menjawab, bahwa perbedaan itu terletak pada sifat front itu sendiri.

“Dari pengalaman pendirian sejumlah aliansi sebutlah: Front Nasional, Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat (KPGR), Majelis Rakyat Indonesia (MRI), Front Pembebasan Nasional (FPN) dan Komite Nasional untuk Kedaulatan Rakyat (KNKR), ada satu benang merah penting yang mesti jadi titik tekan serius, yaitu merawat dan meluaskan konsolidasi dalam bingkai Front—tidak sekedar Komite Aksi. … intinya, kami mau menegaskan bahwa FORI bukanlah sekedar Komite Aksi”, ujar Usman.

“FORI dibentuk dengan planning menjadi front yang sesungguhnya. Bukan lagi sekedar komite aksi, koalisi ataupun aliansi. Artinya FORI dibentuk sebagai wadah yang strategis dimana bersandar pada basis massa real yang akan mendorong pada perjuangan kelas dan dengan didukung oleh perjuangan berperspektif ekologis dan HAM. Berbagai perespektif juga terbuka untuk mendapatkan masukan, misalnya dengan muatan-muatan lokal”, kata Ma’ruf.

Untuk mengusung misinya, baik sebagai wadah persatuan maupun sebagai alat perlawanan terhadap rejim kapitalisme-neoliberal, FOR Indonesia menawarkan lima platform ideologi, politik, dan ekonomi:

Pertama, mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memerhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan; (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat; (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil; (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan;

Kedua, mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, laki-laki maupun perempuan, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran lingkungann hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat;

Ketiga, pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan;

Keempat, mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional;

Kelima, penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM.


DI INDONESIA masa orde baru, sejarah pembangunan gerakan kerakyatan selain bergelimang darah juga sarat perpecahan internal dan eksternal organisasi. Upaya membangun persatuan, ibarat menegakkan benang basah, atau seperti tragedi Sisyphus dalam dongeng Yunani kuno. Di kisahkan, akibat perbuatannya yang kontroversial, Sisyphus dihukum untuk mendorong batu besar dari dasar hingga ke puncak gunung, tapi begitu tiba di puncak batu tersebut kembali bergulir ke dasar. Di dorong lagi ke puncak, jatuh lagi ke dasar. Begitu seterusnya tanpa akhir.

Walaupun pemisalan ini tampak ekstrim, tapi itulah yang mendera gerakan kerakyatan di Indonesia. Persatuan pun lantas menjadi mitos: dibutuhkan tapi tak bisa diwujudkan. Jika kebutuhan akan persatuan bisa dirunut alasan-alasannya, maka penyebab sulitnya persatuan terwujud atau bisa bertahan lama ibarat mencari sebatang jarum di tengah tumpukan jerami. Boleh jadi karena masalah ideologi, soal-soal organisasional, problem-problem programatik, metode gerakan yang terlalu berbeda, keberagaman basis massa, perbedaan geografis yang begitu tajam, hingga isu-isu personal yang sangat subyektif. Atau masalahnya adalah gabungan semuanya itu, berkait-berkelindan membentuk sebuah benang kusut.

‘Takdir’ ini juga mendera FOR Indonesia. Di tengah-tengah gencarnya upaya mengonsolidasikan front, muncul tuduhan bahwa sebagian elemen dalam FOR Indonesia tidak bersungguh-sungguh membangun persatuan yang organik. FOR Indonesia dianggap tidak demokratis, karena mengajak persatuan tapi begitu persatuan itu diajak meleburkan diri dalam bentuk persatuan lainnya, malah menolak. Persatuan dalam persatuan, itulah yang mungkin dipandang terbaik dalam upaya terus-menerus mewujudkan persatuan gerakan progresif di Indonesia. Bagi Budi Wardoro, yang akrab disapa Yoyok, aktivis Persatuan Politik Rakyat Miskin (PPRM), cara-cara seperti itu hanya membangun persatuan yang semu.

“Mengharapkan persatuan, tapi (dengan sengaja) tak mau melibatkan organ/aliansi lain dalam pembangunan persatuan, tak memberikan dukungan solidaritas bagi organ lain yang berlawan, melarang basisnya untuk bersatu dengan organ lain-sekalipun dalam kasus basisnya, organ-organ inilah yg memberikan dukungan--mencoba menguasai persatuan dgn dominasi--bukan dengan penyadaran--sama saja dgn membangun persatuan yang semu, persatuan yang kropos,” demikian tulis Wardoyo dalam status facebooknya.

“Langsung saja sebut organnya Bung, biar organ tersebut bisa membantah, mengklarifikasi, dst. Susah juga soalnya kalo pake sindiran melulu, kita ga tau siapa yang dimaksud, kasusnya apa dan kayak gimana, dst”, tantang Zaki Husain yang merupakan anggota tim propaganda FOR Indonesia.

Wardoyo sebelumnya mengelak untuk menyebutkan nama organ yang dituduhnya hanya ingin membangun persatuan semu itu. Tetapi setelah didesak, ia kemudian mengatakan bahwa organ yang dimaksud dalam Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

“Menurut pengakuan salah satu basis KASBI di Bekasi, ada larangan dari pimpinannya, agar basis KASBI tidak terlibat dalam agenda-agenda Aliansi Buruh Menggugat Bekasi,” demikian ujar Wardoyo memberikan contoh. “Dalam pembentukan FORI Yogyakarta yang digagas oleh kawan-kawan PRP-KASBI, unsur-unsur dari PPRM, PEREMPUAN MAHARDIKA, dan PEMBEBASAN tidak disertakan,” katanya melanjutkan.

Kritik Wardoyo ini mendapat jawaban cukup lengkap dari PRP, yang menganggap kritik tersebut tidak lebih sebagai insinuatif (tuduhan) tak berdasar. “Benarkah FORI tidak demokratis seperti insinuasi kawan-kawan? Periksalah apakah kawan-kawan terus dan selalu mendapatkan notulensi dan undangan-undangan FORI? Bila kawan-kawan tidak datang dalam salah satu atau beberapa pertemuan apakah ada kegaduhan dan tuduhan yang dibesar-besarkan soal itu? Bahkan sejak langkah awal di front di buat akhir tahun lalu bersamaan kemunculan fenomena "Cicak VS Buaya", di kala kawan seperti Yoyok menolak banyak hal yang disepakati sebagai akomodasi yang dihendaki mayoritas. Tetap saja sejak itu sampai sekarang masih dikirimkan notulensi dan undangan oleh kesekretariatan pada daftar email kawan-kawan yang ada”, tulis PRP dalam tanggapannya.

“Setelah semua itu dibicarakan, dijalani bersama-sama, dialami berulang-ulang ...tetap saja kegemaran untuk menyindir tanpa kejelasan, menuduh dengan menyepet (insinuasi), bahkan memaki-maki dengan pernyataan penuh prasangka dilakukan di ruang yang cair seperti facebook. Dan ini bukan kali pertama”, demikian tulis PRP lebih lanjut.

Kalau diperhatian debat ini, maka pangkal soalnya adalah masalah organisasi, lebih khusus lagi teknis organisasi, yakni soal koordinasi dan konfirmasi. Belum tampak perdebatan yang mengarah pada soal-soal politik-ideologis yang menyebabkan persatuan itu bisa berlangsung semu. Namun, bila perdebatan organisasional ini tidak bisa diselesaikan secara demokratis, maka pelan tapi pasti, bisa mengarah pada debat politik-ideologis. Tradisi sambung menyambung yang belum tentu menjadi satu.

Inilah tantangan klasik yang dihadapi dan harus diatasi oleh FOR Indonesia, di samping tantangan lain yang tidak kalah seriusnya. Agar tidak seperti Sisyphus dalam dongeng Yunani kuno itu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post