Jumat, 18 Juni 2010

Kesetaraan Jender Perempuan Terhadap Partisipasi Politik Anggota Partai

Hubungan Antara Persepsi Terhadap Kesetaraan Jender Dengan Partisipasi Politik Perempuan Anggota Partai Di Kabupaten Bondowoso


Konsep dari kodrat budaya yang dibentuk oleh masyarakat dalam mengidentifikasi perbedaan kaum laki-laki dan perempuan, yang melahirkan stereotip bahwa perempuan harus lemah lembut, emosional, tidak bisa memimpin, dan tidak perlu sekolah tinggi, sedangkan laki-laki harus keras, kuat, bisa memimpin, dan mengatur seluruh kehidupan, mengakibatkan dikotomi peran di mana perempuan hanya pantas berada di wilayah domestik atau mengatur rumah tangga, sedangkan laki-laki pantas berada di wilayah publik.
Ketimpangan jender yang merupakan pembedaan-pembedaan dan ketidakseimbangan antara posisi dan peran laki-laki dan perempuan, yang disebabkan karena adanya penilaian yang lebih tinggi terhadap salah satu jenis kelamin dalam wilayah publik (Herawati, 2003), terutama dalam dunia politik yang masih bagian dari dunia publik (public world), didominasi kaum laki-laki (Umar, 1999). Menurut Sugiarti (2003), masyarakat menganggap dunia politik penuh persaingan, kejam, penuh rekayasa, teror dan sebagainya, sehingga sedikit perempuan yang tahan untuk memasuki dunia politik yang dianggap sebagai dunia publik, sedang perempuan sendiri diperankan atau memerankan dirinya di dunia domestik.
Rochayah (Sugiarti, 2003), mengatakan bahwa pengalaman non politik di masa anak-anak dapat memainkan peranan penting dalam membentuk sikap politik dan tingkah laku di kemudian hari, tetapi pengaruh pengalaman tersebut terhadap politik berjalan terus sepanjang masa pertumbuhan dan tahun-tahun kedewasaan. Hal tersebut dipertegas oleh Jennings dan R.G Niemi, yang menemukan bahwa latar belakang politik orang tua mempunyai korelasi positif dengan gambaran politik anak-anak mereka (Sugiarti, 2003).
Gambaran politik dibentuk melalui proses sosialisasi politik, yang menurut Almond (Surbakti, 1992), merupakan bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat berpartisipasi dalam sistem politik. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan di keluarga, sekolah, kelompok bergaul, pekerjaan, media massa, atau kontak politik langsung.
Sosialisasi politik secara langsung, dengan menempatkan perempuan-perempuan dalam posisi strategis di kawasan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, merupakan salah satu langkah strategis untuk mengangkat harkat perempuan (Shanti, 2001). Hal tersebut diperkuat dengan adanya jajak pendapat nasional pemilih di 32 propinsi Indonesia (The Asia Foundation, 2003). Dari penelitian tersebut dihasilkan, bahwa 60% pemilih setuju perempuan sebagai sebuah kelompok memiliki kebutuhan bersama yang harus diekspresikan dalam politik dan pemilu, serta ada lebih dari seperempat pemilih (27%) merasa bahwa isu-isu jender sangat penting dalam politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post